Begini Rasanya Pulang Ke Kampung Emak


Setiap tahun sejumlah perantau yang memilih bekerja jauh dari kampung halamannya menjadikan momentum libur Hari Raya Idul Fitri untuk pulang ke kampung halaman bertemu sanak saudara, bersilaturohim dan melepas rindu yang membuncah. 

Ada yang pulang setiap tahunnya sebagai tradisi mudik bersama keluarga pun jika keuangan keluarga mereka cukup membaik melakukan ritual tersebut terlebih jika mereka merantau di luar kota seperti Jawa atau Kalimantan dan kota lainnya yang cukup jauh dan pastinya membutuhkan biaya yang lebih besar dan ada pula yang harus menunggu sekian tahun lamanya hingga memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya bertemu sanak saudara dengan alasan klise malu untuk pulang kampung sebelum menikmati yang namanya kesuksesan.

Tradisi mudik ini hanya bisa saya saksikan di berbagai pemberitaan media baik media cetak, media elektronik dan ramainya status sejumlah kawan saya di media social seperti facebook yang kebetulan bekerja di luar kota maupun yang hanya di luar daerah yang masih satu provinsi namun jaraknya terhitung cukup melelahkan juga jika harus pulang di waktu mudik saat Hari Raya Idul Fitri.

Kadang saya berfikir, kapan yah saya bisa merasakan yang namanya mudik ? menikmati hiruk pikuk berburu ticket pesawat, kereta atau bus seperti yang dirasakan oleh sejumlah kawan-kawan saya. 

Yah gimana yah, saya lahir di Ujung Pandang (kini Makassar) dan besar di Kampung Tarusang Labakkang Kabupaten Pangkep hingga hari ini, lah saya mau mudik kemana. Tidak ada, kampung saya di Labakkang dimana saya bersekolah dari jenjang SD sampai SMA semuanya di Labakkang pun kuliah harus ambil kelas jauh Pangkep-Makassar yang lebih banyak berkuliah di Pangkep, terus saya mau kemana ? Tanya Budi.


Nah, yang menarik emak saya ini justru bukan orang Labakkang, tapi orang Wajo salah satu Kabupaten yang harus di tempuh sekitar lima hingga 6 jam perjalanan jika lancar, untuk sampai di kampung kelahirannya Kampung Soro. Setiap tahun emak saya ini sih gak ada tradisi mudik layaknya perantau lainnya, yah karena keluarga kami dan rumah tempat tinggal kami berpuluh tahun lamanya yah di Kampung Tarusang, juga sudah punya ritual tahunan menyambut hari raya idul fitri sekeluarga yang terdiri atas tetta (baca: Ayah), emakku dan saya tentunya, ups ditambah keluarga Jodha, kucing kesayanganku yang tahun ini genap 13 ekor.
    

Karena emak gak mudik, peringatan hari raya idul fitri semua berlangsung seperti biasa, setiap tahunnya usai melaksanakan sholat idul fitri di Lapangan Erasa sana, hanya berkeliling lorong bersilaturohim ke rumah paman dan tante serta kerabat lainnya, yang jarak rumahnya memang saling berdekatan. Kami saling mengunjungi satu sama lain sambil menunggu juga tamu dari kawan-kawan saya baik teman kuliah, rekan kerja dan juga keluarga dari Ibu yang jauh-jauh dari Makassar yang biasa mendadak datang ke rumah di hari raya.
Tradisi ini dari kecil hingga tahun lalu masih sama, tidak ada yang berubah. Padahal saya berharap ada yang berubah dari tradisi ini, hanya sekali di tahun 2009 kalau gak salah ingat, saya berlebaran di Unaaha kampung kakak saya yang saat itu kabur berlibur gara-gara malas menyelesaikan skripsi karena sering bertentangan dengan kepala jurusan kampus, merasa di persulit gara-gara terlalu kritis jadi aktifis, hahaha. 


Dua hari setelah lebaran inilah biasanya Ibu saya di jemput oleh adiknya yang stay di Makassar untuk melakukan tradisi Ziarah Kubur di Kampung Halaman emaknya yang tak lain kampung kelahiran ibuku dan juga tante Ajiku ini di Kabupaten Wajo tadi tentu bersama anak-anaknya yang tak lain sepupu-sepupuku. 

Nah, setiap kali emak diajak untuk masuk kampung, sebenarnya saya selalu diajak juga, tapi dasar saya orangnya kadang malas-malasan plus ogah-ogahan, sapa yang ngurus etta saya kalau saya juga ikut, alasan mulia bukan ? akhirnya saya memilih tinggal di rumah nunggu tamu saya saja. Bosan mengajak saya, emak saya pun pasrah oga-ogahan juga akhirnya ngajakin setiap kali hari raya idul fitri. 

Wajo dan Kenangan Masa Kecil 


Tahun 2017 inilah, entah kenapa saya ingin sekali jalan-jalan ke kampung halaman emak mungkin efect dua tahun terakhir saya bekerja dan travelling ke sejumlah kota di Pulau Jawa dan terakhir sempat ke Bali juga, jadinya membayangkan sendiri sepertinya asyik juga kalau bernostalgia masa kecil di kampung halaman emak. 


Yup, waktu kecil sekitar umur 4 atau 5 tahun barangkali saat emak masih aktif jadi pedagang lipa sabbe’ atau sarung sutera khas orang Sengkang, baju bodo dan sejumlah rintisan usaha emak yang cukup sukses di jaman tahun 80 hingga 90an ini terpaksa harus mondar mandir Wajo-Labakkang  mengambil barang dan tentunya saya sering diikutsertakan. 


Saat emak belanja di kota Sengkang Wajo yang berjarak dua jam dari Kampung Soro maka emak akan menitipkan saya ke neneknya yang juga sering saya panggil nenek Wale atau saya akan di titipkan di rumah sepupunya yang bernama Pakkulang yang kebetulan punya anak hampir sebaya dengan saya namanya Ani. Di halaman rumahnya kami sering bermain, tak jarang karena ibu kelamaan belanja di kota saya harus nangis berkepanjangan menahan rindu pada emak jika magrib sudah tiba namun beliau tak kunjung pulang juga. 


Ingatan panjang saya tentang Kampung Soro ini adalah Nenek Wale, salah satu nenek dari Ibu yang dapat kurekam wajahnya, ceritanya, juga sindirannya. Nenek Wale ini adalah nenek Emak saya, nenek langsung saya dari emak juga kakek sudah tiada jauh sebelum saya lahir, jadi sedikitpun tahu akan wajah atau sosoknya sama sekali tidak ada dan tidak tahu, jadi hanya Nenek Wale inilah yang bisa saya kenang tatkala emak tinggal di rumahnya, disini pulalah saya bermain dengan seorang pemuda yang kala itu yang sering saya panggil Lau, atau mungkin tepatnya om Lau yang juga menemaniku saat emakku sedang sibuk mengurus urusannya di Kampung. 


Mengenang itu semua, akhirnya lebaran kali ini saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Kampung Soro dan itu saya katakan langsung kepada emak saat beliau sedang menelpon dengan tanteku Hj. Hawa yang tak lain istri dari om Pakkulang tadi yang saya ceritakan diatas. 


Mendengar itu, emakku langsung ekxited banged, seperti dapat hadiah durian runtuh, seakan-akan beliau ingin berkata “Ini anakku, kesambet apa yah, kok tiba-tiba mau ke kampung soro, setelah selama ini menolak terus ketika diajak” hahaha. 


Kabar saya ingin jalan-jalan dan silaturohim ke Kampung Soro yang berencana tiga hari setelah lebaran inilah yang akhirnya dirapatkan bersama dengan tanteku yang stay di Makassar yang kebetulan punya kendaraan alias mobil pribadi, jadi lebih efisien gak usah rental, cukup cover uang bensin, selesai. 

Pas lebaran, saat tante saya ini ke rumah sudah dirundingkan sedemikian rupa untuk mengatur waktu pemberangkatan, namun ternyata yang rencananya mau berangkat tiga hari setelah lebaran jatuhnya berangkat sehari setelah lebaran karena ternyata keluarga sepupuku, ibu mertua sepupuku yang kebetulan anaknya tanteku ini juga pengen ikutan jalan-jalan dan silaturohim dengan keluarga di kampung, maka jadilah hari selasa tanggal 27 Juni kami memutuskan untuk berangkat dengan 2 mobil.



Keliling Kampung untuk Bersilaturohim


Tanggal 26 malam saya ngeblog hingga subuh, setelah sholat subuh saya baru tidur, meski keesokan harinya kami akan berangkat ke Wajo yang setahu saya dari tante mungkin agak siang habis dhuhur juga baru berangkat sambil nunggu keluarga sepupu. Karena tahu ini, jadi saya pikir masih banyak waktu untuk tidur. Baru sekitar dua jam rasanya saya tertidur, ettaku juga emakku sudah memintaku untuk bangun, saya ogah-ogahan dong. Ngantuuuk berat. 


Kegaduhan lantai satu dimana emakku nyerocos mulu dan sudah kalang-kabut memintaku untuk siap-siap mandi, setrika pakaian, dan mengingat semua barang bawaan membuatku sakit kepala. Bayangin, ngantuuukkkk sumpah. 

Bete, mendapat perlakuan demikian, akhirnya saya telpon tante untuk memastikan kembali jam pemberangkatan yang sebenarnya, dan alhasil nanti habis ashar tante dan rombongan akan bertolak dari Makassar menuju Pangkep untuk menjemput kami, kuperdengarkan melalui speaker handphone kepada emakku dan ku cc-kan ke tettaku bahwa emak ini terlalu semangat, sampai harus membangunkanku sepagi ini hanya untuk bersiap-siap padahal rombongan masih lama, duh.


***


Akhirnya setelah sholat Ashar, tepatnya jelang Magrib rombongan tante tiba di rumah, setelah menyajikan menu lebaran yang masih ada, habis isya jadinya baru berangkat menempuh kurang lebih sekitar 6-7 jam perjalanan. Kami hanya sempat singgah di salah satu swalayan mini untuk membeli makanan dan minuman saat tiba di Pare-Pare, selebihnya kami tiba di kediaman kakakku di Kampung Tosewo hampir pukul 02:00 dini hari. Tidak berbincang lama dengan kakakku dan kakak ipar, semuanya tepar karena mengantuk. 

Saat Mampir ke Swalayan Mini untuk Beli Kopi bersama rombongan di Pare-Pare
 
Saat Emak dan Tante nyari Minuman buat oleh-Oleh di Kampung

Silaturohim Kerumah Kerabat Emak


Suasana Kampung Tosewo seperti perkampungan pada umumnya, sedikit modern sih untuk disebut perkampungan, terakhir saya kesini saat duduk di bangku SMA kelas 2 bersama ponakanku Aswan yang waktu itu masih sangat kecil dan lagi demeng yang namanya Meteor Garden drama Taiwan yang fenomenal kala itu dan kakakku belum memiliki rumah seperti sekarang ini. 

Transformasinya cukup baiklah untuk usahanya sebagai jasa pengangkutan dan pemasaran ikan bolu, mengingat mayoritas warga di Tosewo ini memiliki pekerjaan sebagai petani tambak seperti saudara emak yang cukup terkenallah di Kampung Tosewo ini. Rumah yang berjejer dan lingkungannya cukup bersih, membuat pagi di tempat ini sangat nyaman dengan hidangan ikan bakar bolu, loppa sebutan udang oleh warga disini serta aneka hidangan lainnya yang sungguh mengenyangkan. 

Sarapan di Kediaman Kakak
Rombongan Keluarga Besar lagi Sarapan

Usai menikmati sarapan pagi yang super special, akhirnya rombongan berkeliling ke kerumah kerabat yang tak lain saudara emak ini bernama H. Hemma, setelah bersalaman saya ngacir ke bawah dan mencoba mencari spot khusus untuk berfoto ria bersama ponakan. Yup, cuman bisa ke belakang rumah saudara H. Hemma, kami menemukan jembatan yang bisalah jadi tempat mengepresikan diri, sambil memotret berbagai sudut perkampungan Tosewo ini.

Jembatan Belakang rumah bersama keponakan Irgi Fahrezi

Yang manarik lagi dari kampung ini, sejumlah rumah terlihat aneh dengan atap yang begitu tinggi, plus bocoran khusus pada dindingnya. Saya pun bertanya pada kerabat saudaranya saudara emak yang kebetulan duduk-duduk di balai-balai kolong rumah tersebut, saya menanyakan sejumlah rumah yang memiliki atap khusus ini hingga darinya saya mengetahui bahwa rumah tersebut termasuk depan rumah saudara emak saya ini yang dengan cat kuning dan cukup mewah untuk ukuran seperti saya ini jika mereka ternyata memelihara atau tepatnya berbisnis sarang burung walet yang harganya sangat fantastis. 
Rumah ini akan dihibahkan untuk Burung Sarang Walet oleh pemiliknya
Yah, sarang burung walet, rumah yang memiliki atap khusus dengan bocoran di sekitar dinding ini menjadi sarang bagi burung walet untuk membuat sarang, sarangnya inilah yang kemudian manjadi peluang bisnis sejumlah warga di kampung ini dan ternyata bukan hanya di kampung ini yang melakukan bisnis ini, melainkan juga hampir seputara Kabupaten Wajo sepanjang jalan yang kami lewati saat akan berpindah ke kampung berikutnya bahkan pemilik ruko pun yang berprofesi sebagai pedagang ini rela menjadikan rumah lantai atas bahkan sengaja membuat tingkatan ketiga khusus untuk bisnis sarang burung walet ini. 

Bahkan kabar yang saya dengar dari emak saudaranya pun H. Hemma sudah menyiapkan ratusan juta juga untuk mulai melakukan bisnis serupa dengan membangun bangunan khusus untuk sarang burung walet ini. 


Mitos lain soal bisnis sarang burung walet ini adalah pemilik rumah depan yang saya katakan cukup mewah ini sudah akan meninggalkan rumah mewahnya untuk mencari rumah baru agar tidak seatap lagi dengan burung walet ini. 

Wow, rumah mewahnya hanya untuk bisnis sarang burung walet, bo. Konon katanya menurut informasi, pemiliknya sudah mulai sakit-sakitan karena seatap dengan burung walet, karena telah berhasil dan sukses pihak pemilik rumah akan segera pindah bahkan sudah mencari lokasi khusus sambil berobat, nah loh. 

Kampung Pa’polo


Usai bersilaturohim dengan kerabat Emak yang tak lain saudaranya, kami akhirnya bertolak ke Kampung Pa’polo untuk menemui kerabat emak lainnya, sepupunya entahlah saya gak hafal silsilah mereka pokoknya keluarga. 
Sekitar tiga puluh menit dari Tosewo melewati kecamatan Peneki kami tiba di Kampung Pa’polo yang super adem, sekalian nantinya kami akan berziarah kubur ke makam ayah emak. 
Pertama kami mengunjungi Keluarga Tali’, kerabat emak yang tepat di depan rumahnya, hamparan sawah yang hijau, angin yang sepoi-sepoi membuat kami betah dan nyaman begitu tiba di rumah ini. 
Kami disajikan menu lebaran oleh keluarga ini, terlihat dua anaknya serta menantunya turut membantu Ibu Tali’ ini menyiapkan menu lebaran kemarin dan kami semua menikmatinya. Setelah kenyang dan emak juga tanteku bercerita panjang lebar dengan keluarga ini, saya dan rombongan mobil tanteku akhirnya menuju ke lokasi pekuburan yang harus melewati pematang sawah yang lumayan jauh. 

Jalanan becek jadi pemandangan yang tak dapat dihindarkan, alhasil insiden emak dan tante yang terperosok jatuh tak terelakkan, bukannya saya, ponakan dan sepupu segera menolong kami menyaksikan pemandangan itu sebagai pertunjukan yang sangat menyenangkan sambil menertawai emak dan tanteku yang harus terkencing-kencing juga menahan tawa. Sendal jepit yang saya gunakan pun harus dilepas agar tidak jatuh pada lubangan lumpur seperti emak dan tanteku. 
Tiba di pekuburan ini untuk pertama kalinya bagiku, pikiranku tante dan emakku sudah tahu posisi kuburan yang akan di siram ternyata mereka hanya mengandalkan ingatan lama mereka juga meminta keponakanku Wilda yang bau kencur ini untuk mencari posisi kuburan ayah dua srikandi ini, hahaha. Setelah melalui ingatan panjang, akhirnya ketemulah kuburan yang dimaksud. 

Setelah semua ritual yang panjang ini, kami lalu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah ibu Tali’ dimana rombongan lainnya masih menunggu, namun kerabat emak lainnya dimana kami harus melewati rumahnya memaksa kami untuk singgah sekalian membersihkan badan emak dan tante.

Di Kampung Pa’polo ini sekitar lima rumah kerabat emak dikunjungin, sejumlah kerabat juga mencoba mengenaliku dan akhirnya speechles mengetahui jika saya adalah anak bungsu emak yang puluhan tahun lalu sangat kurus, ceking dan tidak ada bentuk itu berubah drastis seperti Denada atau Kajol, accieee hahahaa. 
Saya hanya senyam-senyum mendapatkan respon bahwa sekarang sudah gemukan, mungkin lebih tepatnya sangat gemuk dibanding sebelumnya, hahaha. Mereka menanyakan banyak hal khususnya pertanyaan tentang pekerjaanku, syukur mereka gak nanya tentang suamiku dimana? Hahaha.

Setelah ngobrol panjang, bersalaman akhirnya kami berpamitan untuk bergegas menuju Kampung Soro melanjutkan agenda selanjutnya. Yup kami akan berziarah kubur ke makam nenek saya yang tak lain emaknya emakku, sebelum magrib datang dan kami harus menempuh jarak sekitar tiga puluh menit juga untuk tiba di Kampung Soro ini. 

Kampung Soro 

Sekitar setengah lima sore, akhirnya kami tiba di Kampung kelahiran emak ini, seperti saya ceritakan diawal di kampung inilah saya memiliki ingatan atau kenangan panjang tentang masa kecilku. Disini, dirumah nenek emak Nenek Wale berada, sepupu emak Pakkulang juga berada tempat dimana saya sering di titipkan untuk bermain bersama anaknya sambil menunggu emak membeli sejumlah dagangannya di Kota Sengkang yang akan di jual di Kampung Labakkang. 

Pertama kali kami tiba di kampung ini, kami ke rumah kerabat emak bernama Parangrani, rumah kerabat emak yang paling ujung karena paling dekat jaraknya untuk ke pekuburan nenek untuk berziarah kubur. 

Tiba di tempat ini, hamparan rumput yang rapi layaknyaa rumput buatan seperti alun-alun Bandung ini membuatku dan yang lainnya speechles juga, yang ada dalam pikiranku sebagai seorang yang bekerja untuk pemberdayaan perempuan ini adalah tempat yang nyaman untuk memberikan pelatihan dengan nuansa alam atau mengajar anak-anak diatas rerumputan yang rapi dan bersih ini. Pokoknya keren deh. 

Pemilik rumah mempersilahkan rombongan kami masuk, namun tidak lama, karena kami harus bergegas ke pekuburan untuk ziarah kubur sebelum adzan magrib berkumandang. Kami akhirnya berjalan sekitar lima ratus meter oh nggak sekitar setengah kilo kali, untuk akhirnya sampai ke lokasi ini. Syukurnya lokasinya meski jalananya juga kurang mulus, tapi gak becek amatlah seperti saat kami ke pekuburan sebelumnya yang harus melewati pematang sawah dan becek. 

Ritual ziarah kubur usai, kami akhirnya kembali ke rumah tadi menikmati kue lebaran dengan segelas juice dingin. Disini, pemilik rumah juga menanyakan tentang sosokku pada emak sampai terkaget-kaget juga saya sudah segede ini, haahahha. Maafin yah om, baru nengok setelah puluhan tahun berlalu. 

Yah, harus saya sampaikan bahwa terakhir kali menginjakkan kaki di Kampung ini saat masih sangat kecil, saya perhitungkan saat umur saya sekitar 4 atau 5 tahun, nah sekarang sudah 31 tahun, hitung sendiri sudah berapa lama saya tidak menginjakkan kaki di Kampung ini. Lamaaaaa sekali, makanya dengan alasan ini pulalah, lebaran kali ini saya cukup bersemangat untuk mengunjungi keluarga emak, yah keluarga saya juga tentunya.

Jika harus menghitung sejumlah rumah kerabat yang berjejer kami kunjungi setelah dari Kediaman Parenrengi ini, maka sampai magrib kami mengunjungi rumah Ibu Lela, Fa’ Intan, Fa’ Madda hingga kami memutuskan menginap di rumah Pakullang dan Hj. Hawa dan sekalian saya bertemu dengan teman sepermainan saya sejak kecil Ani. Ani biasa, Aninya Bang Rhoma yah, hahaha. Selain Ani yang telah memiliki sepasang anak puta-putri ini dan sedang menunggu panggilan ke Baitullah Agustus mendatang.
Bersama teman sepermainan Ani
Nah khusus teman saya si Ani kami sempat ketemu saya lupa tahun lalukah atau tahun 2015 saat ia dan keluarga singgah ke rumah kala itu, jadi sempatlah dia melihat sosok saya yang mungkin hanya berbeda tipis dengan sekarang dari berat badan saja hahaha. 
Bersama Sukma
Selain Ani, saya juga bertemu dengan teman lainnya sejak kecil yang tentunya masih keluarga, namanya Sukma yang tak lain ipar dari Ani ini, yup keluarga di Kampung ini, biasanya saling menjodohkan kerabat satu sama lain, saat ini Sukma bekerja di salah satu bank swasta di Sengkang sana dan statusnya sama dengan saya alias still singel, yeaaaah ada teman wkwkwkw. 
Saya tidak perlu takut dengan pertanyaan kerabat soal jodoh, yang kadang menjadi kekhwatiran bagi sejumlah perempuan lajang yang sudah menginjakkan kepala 3, hahahaa. Bukan apa-apa, kalau teman di sosmed nanya, biasanya saya ceramahin balik soal jodoh, mati dan rezki khan urusan Allah, emang kita punya hak apa mau intervensi Allah soal urusan ini. Tapi, yaelah kalau orangtua yang nanya, kerabat yang nanya dan sudah lama tak bertemu, saya memilih kabuuuuuurrrrr !

***

Rombongan memutuskan menginap di rumah Pakkulang, disini kami makan malam bersama rombongan keluarga lainnya, suasananya penuh kekerabatan banged deh. Disini pula saya tahu saya punya om muda, aduh padahal usianya jauh lebih muda dari saya, tapi panggilan yang cocok sesuai dengan silsilah keluarga jatuhnya om Muda. 

Yah, saudaranya Ani ini, anak bungsunnya Pakkulang dan Hj. Hawa. Saya agak kebingungan juga memanggil nama kerabat disini, yang mana om, yang mana harus saya panggil tante, mana sepupu, mana aduh bingung deh. Jika saya harus memanggil adik Ani ini Om Muda, berarti Ani ini adalah tante saya, karena emak dan Pakkulang itu juga tante posisinya adalah bersepupu, hahaha rempong yah. 


Rusli atau panggilan kerennya adalah Selli ini juga hanya mengenal emakku, dan ini pertama kali juga ia mengenal sosokku. Padahal, anak ini kuliah di Makassar, sekiranya sejak dulu saling mengenal, tahu kontaknya bisa sering saya ajakin turun ke Pangkep ajakin nonkrong dan jalan-jalan ke rumah, tapi ini baru kenal pun sekarang dia udah tahap akhir sih kuliahnya. 
Ilham, Hesty dan Irgy ponakanku

Selain si Selli ini saya juga mengenal ponakanku yang lain anaknya Ani si Ilham dan Hesty yang lucu-lucu ini, ah bahagia deh ngelihat dua anak ini. Sekiranya saya nikah diusia yang sama dengan Ani, anak gua udah segede mereka, hahahaha.


***

Keesokan harinya, persiapan untuk ziarah kubur ke Kampung Gilirang, disini kuburan kakek buyut kami kata emak yang akan dikunjungin. 
Nina, Sukma, dan Tante

Alhasil, masih sangat pagi para emak dan tante-tante sudah berjibaku dengan dapur untuk memasak bekal, layaknya pengen piknik dimana gituh. 


Kuabaikan mereka di dapur, setelah mandi saya dan tante memutuskan mengunjungi kerabat yang tersisa yang belum dikunjungin sebelumnya karena sudah magrib. 
Saya menghampiri rumah Nenek Wale, neneknya emak hanya tidak sempat naik rumah, soalnya Pa’pallah suami tante Anthi juga lagi tidak di rumah, saya hanya bisa memotret dari bawah rumah ini, rumah dimana di halaman rumahnya saya sering bermain dengan om yang sering saya panggil Lau, pun om Lau ini sudah tidak stay di rumah ini dan sayangnya lagi menurut Ani, Om Lau ini sempat datang kemarin pagi, sebelum kami tiba, sekiranya saya dan rombongan tiba lebih awal kami bisa bertemu, duh sayang sekali. 

Sungguh saya sangat penasaran dengan sosok om yang satu ini, yang menjagaku di rumah nenek Wale ini. Sekitar 3 rumah kami datangi sebelum akhirnya tiga rombongan mobil bertolak ke Kecamatan Gilirang untuk ziarah kubur. 


Kampung Gilirang


Rasanya hampir sejam kami menempuh perjalanan hingga tiba di rumah kerabat selanjutnya di Kampung Gilirang. Rasa lapar tak tertahankan, apalagi para supir-supir kami, sepupu Adi yang membawa mobil yang saya tumpangi dan si Selli yang membawa rombongan keluarganya ini yang harus mencuri start membuka bekal ketika tiba di rumah om, aduh lupa namanya pokokna om mantan lurah dah dan sekarang masih aktif di salah OPD di Sengkang sana. Yang menjamu kami dengan sangat ramah.

Yang lucu, kami bawa bekal dan menghidangkan bekal juga yah para tante-tante kami ini, usut punya usut ternyata kondisi ini sudah di prediksi oleh rombongan tante-tante sejak di rumah, bahwa istri om ini bukanlah kerabat yang sama dengan kami alias orang lain dan tidak punya kebiasaan menjamu tamu yang cukup banyak.  
And then, si Om ternyata lagi ditinggal istrinya sebelum lebaran sehingga tidak ada tante yang bisa melayani kerabat si om yang datang dari jauh. Maka jadilah rombongan tiga mobil ini camping di rumah om Lurah, hahaha.

Guyonan untuk mencarikan si om Jodoh pun jadi topik khusus pertemuan kerabat disini, sampai harus nyodorin saya dan Sukma yang masih singel wkwkwkwk, hallo...yang benar saja tante hihihi yang ada saya mau sama anaknya saja yang brondong super ganteng, wkwkwkwk yang kebetulan katanya kuliah di Unismuh Makassar juga, hei dek kita satu almamater loh, sayangnya gak sempat di kepoin soalnya gak join dengan rombongan keluarga lainnya hahahaha. 


Usai menikmati makan siang, rombongan akhirnya bertolak ke Pekuburan Gilirang yang tidak jauh dari rumah si Om, tapi tetap masih mengendarai mobil. Tiba di lokasi, sejumlah pengunjung lainnya sudah terlihat meramaikan pekuburan ini untuk tujuan yang sama, ziarah kubur. 

Ritual pun dilakukan secara bergantian, yah sekedar siram doang. Nah karena si emak agak lebay banged, pun semua yang dimintanya saya mesti turutin sambil ngangguk-ngangguk doang. Saya lebih fokus motoin anggota keluarga lainnya untuk diabadikan. 

Kuburan ini cukup unik sih, ada sejarahnya. Kata emak, batu nisan ini awalnya kecil, seiring berjalannya waktu semakin membesar seperti sekarang. Almarhum Petta Cambang ini juga punya sejumlah istri dan silsilahnya sudah tersebar dimana-mana, pokoknya panjang. 
Sehingga saya bilang ke emak, bahwa pengunjung lainnya yang juga menziarahi Petta Cambang ini berarti masih kerabat dong. Yang dijawab emak sama tante, kemungkinan besar iyah, tapi khan kita sudah tidah tahu di keturunan yang mana, duh. Yah semua anak adam adalah keluarga mak, hahaha. 



Setelah selesai, kami akhirnya kembali ke rumah Om Lurah dan mengunjungi dua rumah kerabat lainnya dan rombongan kami akhirnya memutuskan untuk berpamitan dan kembali ke Pangkep dan Makassar. Kembali ke rutinitas biasanya, jika saya masih menunggu hari Senin untuk kembali berjibaku dengan pekerjaan, lain halnya Nina istrinya sepupuku Adhi Ceking yang turut dalam rombongan juga kembali ke pekerjaanya. Kembali kejar setoran, setelah menghabiskan THR dan gaji wkwkwkwk.

 Kesimpulan Hasil Pulang Kampung Emak 

Selama dua hari mengunjungi kerabat, hanya satu kesimpulan yang bisa saya tarik yakni sebelum memutuskan untuk menikah harus dipertimbangkan lagi, tanya kenapa ? rumah saya gak muat menampung kerabat emak dari kampungnya yang super duper buanyaaaaak itu plus keluarganya ettaku, duh hahaha. Tapi setidaknya saya tahu sekarang begitu banyak kerabat emak yang kelak datang dan mendoakan, itu kalau saya memutuskan untuk nikah nantinya, hahaha!

Belum ada Komentar untuk "Begini Rasanya Pulang Ke Kampung Emak "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel