Begini Rasanya Pulang Ke Kampung Emak
Jumat, Juni 30, 2017
Tambah Komentar
Setiap
tahun sejumlah perantau yang memilih bekerja jauh dari kampung halamannya menjadikan
momentum libur Hari Raya Idul Fitri untuk pulang ke kampung halaman bertemu
sanak saudara, bersilaturohim dan melepas rindu yang membuncah.
Ada
yang pulang setiap tahunnya sebagai tradisi mudik bersama keluarga pun jika
keuangan keluarga mereka cukup membaik melakukan ritual tersebut terlebih jika
mereka merantau di luar kota seperti Jawa atau Kalimantan dan kota lainnya yang
cukup jauh dan pastinya membutuhkan biaya yang lebih besar dan ada pula yang
harus menunggu sekian tahun lamanya hingga memutuskan untuk pulang ke kampung
halamannya bertemu sanak saudara dengan alasan klise malu untuk pulang kampung sebelum menikmati yang namanya
kesuksesan.
Tradisi
mudik ini hanya bisa saya saksikan di berbagai pemberitaan media baik media
cetak, media elektronik dan ramainya status sejumlah kawan saya di media social
seperti facebook yang kebetulan
bekerja di luar kota maupun yang hanya di luar daerah yang masih satu provinsi namun
jaraknya terhitung cukup melelahkan juga jika harus pulang di waktu mudik saat Hari
Raya Idul Fitri.
Kadang saya berfikir, kapan yah saya bisa merasakan yang namanya mudik ? menikmati hiruk pikuk berburu ticket pesawat, kereta atau bus seperti yang dirasakan oleh sejumlah kawan-kawan saya.
Yah
gimana yah, saya lahir di Ujung Pandang (kini Makassar) dan besar di Kampung
Tarusang Labakkang Kabupaten Pangkep hingga hari ini, lah saya mau mudik
kemana. Tidak ada, kampung saya di Labakkang dimana saya bersekolah dari
jenjang SD sampai SMA semuanya di Labakkang pun kuliah harus ambil kelas jauh Pangkep-Makassar
yang lebih banyak berkuliah di Pangkep, terus saya mau kemana ? Tanya Budi.
Nah,
yang menarik emak saya ini justru bukan orang Labakkang, tapi orang Wajo salah
satu Kabupaten yang harus di tempuh sekitar lima hingga 6 jam perjalanan jika
lancar, untuk sampai di kampung kelahirannya Kampung Soro. Setiap tahun emak
saya ini sih gak ada tradisi mudik layaknya perantau lainnya, yah karena
keluarga kami dan rumah tempat tinggal kami berpuluh tahun lamanya yah di
Kampung Tarusang, juga sudah punya ritual tahunan menyambut hari raya idul
fitri sekeluarga yang terdiri atas tetta (baca: Ayah), emakku dan saya tentunya,
ups ditambah keluarga Jodha, kucing kesayanganku yang tahun ini genap 13 ekor.
Karena
emak gak mudik, peringatan hari raya idul fitri semua berlangsung seperti
biasa, setiap tahunnya usai melaksanakan sholat idul fitri di Lapangan Erasa
sana, hanya berkeliling lorong bersilaturohim ke rumah paman dan tante serta
kerabat lainnya, yang jarak rumahnya memang saling berdekatan. Kami saling
mengunjungi satu sama lain sambil menunggu juga tamu dari kawan-kawan saya baik
teman kuliah, rekan kerja dan juga keluarga dari Ibu yang jauh-jauh dari
Makassar yang biasa mendadak datang ke rumah di hari raya.
Tradisi ini dari
kecil hingga tahun lalu masih sama, tidak ada yang berubah. Padahal saya
berharap ada yang berubah dari tradisi ini, hanya sekali di tahun 2009 kalau
gak salah ingat, saya berlebaran di Unaaha kampung kakak saya yang saat itu kabur
berlibur gara-gara malas menyelesaikan skripsi karena sering bertentangan
dengan kepala jurusan kampus, merasa di persulit gara-gara terlalu kritis jadi
aktifis, hahaha.
Dua
hari setelah lebaran inilah biasanya Ibu saya di jemput oleh adiknya yang stay
di Makassar untuk melakukan tradisi Ziarah Kubur di Kampung Halaman emaknya
yang tak lain kampung kelahiran ibuku dan juga tante Ajiku ini di Kabupaten
Wajo tadi tentu bersama anak-anaknya yang tak lain sepupu-sepupuku.
Nah, setiap kali emak diajak untuk masuk kampung, sebenarnya saya selalu diajak juga, tapi dasar saya orangnya kadang malas-malasan plus ogah-ogahan, sapa yang ngurus etta saya kalau saya juga ikut, alasan mulia bukan ? akhirnya saya memilih tinggal di rumah nunggu tamu saya saja. Bosan mengajak saya, emak saya pun pasrah oga-ogahan juga akhirnya ngajakin setiap kali hari raya idul fitri.
Nah, setiap kali emak diajak untuk masuk kampung, sebenarnya saya selalu diajak juga, tapi dasar saya orangnya kadang malas-malasan plus ogah-ogahan, sapa yang ngurus etta saya kalau saya juga ikut, alasan mulia bukan ? akhirnya saya memilih tinggal di rumah nunggu tamu saya saja. Bosan mengajak saya, emak saya pun pasrah oga-ogahan juga akhirnya ngajakin setiap kali hari raya idul fitri.
Wajo dan Kenangan Masa
Kecil
Tahun
2017 inilah, entah kenapa saya ingin sekali jalan-jalan ke kampung halaman emak
mungkin efect dua tahun terakhir saya bekerja dan travelling ke sejumlah kota
di Pulau Jawa dan terakhir sempat ke Bali juga, jadinya membayangkan sendiri
sepertinya asyik juga kalau bernostalgia masa kecil di kampung halaman emak.
Yup,
waktu kecil sekitar umur 4 atau 5 tahun barangkali saat emak masih aktif jadi
pedagang lipa sabbe’ atau sarung sutera khas orang Sengkang, baju bodo dan
sejumlah rintisan usaha emak yang cukup sukses di jaman tahun 80 hingga 90an
ini terpaksa harus mondar mandir Wajo-Labakkang mengambil barang dan tentunya saya sering
diikutsertakan.
Saat
emak belanja di kota Sengkang Wajo yang berjarak dua jam dari Kampung Soro maka
emak akan menitipkan saya ke neneknya yang juga sering saya panggil nenek Wale atau
saya akan di titipkan di rumah sepupunya yang bernama Pakkulang yang kebetulan punya
anak hampir sebaya dengan saya namanya Ani. Di halaman rumahnya kami sering
bermain, tak jarang karena ibu kelamaan belanja di kota saya harus nangis
berkepanjangan menahan rindu pada emak jika magrib sudah tiba namun beliau tak
kunjung pulang juga.
Ingatan panjang saya tentang Kampung Soro ini adalah Nenek Wale, salah satu nenek dari Ibu yang dapat kurekam wajahnya, ceritanya, juga sindirannya. Nenek Wale ini adalah nenek Emak saya, nenek langsung saya dari emak juga kakek sudah tiada jauh sebelum saya lahir, jadi sedikitpun tahu akan wajah atau sosoknya sama sekali tidak ada dan tidak tahu, jadi hanya Nenek Wale inilah yang bisa saya kenang tatkala emak tinggal di rumahnya, disini pulalah saya bermain dengan seorang pemuda yang kala itu yang sering saya panggil Lau, atau mungkin tepatnya om Lau yang juga menemaniku saat emakku sedang sibuk mengurus urusannya di Kampung.
Mengenang
itu semua, akhirnya lebaran kali ini saya memutuskan untuk jalan-jalan ke
Kampung Soro dan itu saya katakan langsung kepada emak saat beliau sedang
menelpon dengan tanteku Hj. Hawa yang tak lain istri dari om Pakkulang tadi
yang saya ceritakan diatas.
Mendengar itu, emakku langsung ekxited banged, seperti dapat hadiah durian runtuh, seakan-akan beliau ingin berkata “Ini anakku, kesambet apa yah, kok tiba-tiba mau ke kampung soro, setelah selama ini menolak terus ketika diajak” hahaha.
Kabar
saya ingin jalan-jalan dan silaturohim ke Kampung Soro yang berencana tiga hari
setelah lebaran inilah yang akhirnya dirapatkan bersama dengan tanteku yang
stay di Makassar yang kebetulan punya kendaraan alias mobil pribadi, jadi lebih
efisien gak usah rental, cukup cover uang bensin, selesai.
Pas lebaran, saat
tante saya ini ke rumah sudah dirundingkan sedemikian rupa untuk mengatur waktu
pemberangkatan, namun ternyata yang rencananya mau berangkat tiga hari setelah
lebaran jatuhnya berangkat sehari setelah lebaran karena ternyata keluarga
sepupuku, ibu mertua sepupuku yang kebetulan anaknya tanteku ini juga pengen
ikutan jalan-jalan dan silaturohim dengan keluarga di kampung, maka jadilah
hari selasa tanggal 27 Juni kami memutuskan untuk berangkat dengan 2 mobil.
Keliling Kampung untuk Bersilaturohim
Tanggal
26 malam saya ngeblog hingga subuh, setelah sholat subuh saya baru tidur, meski
keesokan harinya kami akan berangkat ke Wajo yang setahu saya dari tante
mungkin agak siang habis dhuhur juga baru berangkat sambil nunggu keluarga
sepupu. Karena tahu ini, jadi saya pikir masih banyak waktu untuk tidur. Baru sekitar
dua jam rasanya saya tertidur, ettaku juga emakku sudah memintaku untuk bangun,
saya ogah-ogahan dong. Ngantuuuk berat.
Kegaduhan
lantai satu dimana emakku nyerocos mulu dan sudah kalang-kabut memintaku untuk
siap-siap mandi, setrika pakaian, dan mengingat semua barang bawaan membuatku
sakit kepala. Bayangin, ngantuuukkkk sumpah.
Bete, mendapat perlakuan demikian, akhirnya saya telpon tante untuk memastikan kembali jam pemberangkatan yang sebenarnya, dan alhasil nanti habis ashar tante dan rombongan akan bertolak dari Makassar menuju Pangkep untuk menjemput kami, kuperdengarkan melalui speaker handphone kepada emakku dan ku cc-kan ke tettaku bahwa emak ini terlalu semangat, sampai harus membangunkanku sepagi ini hanya untuk bersiap-siap padahal rombongan masih lama, duh.
Bete, mendapat perlakuan demikian, akhirnya saya telpon tante untuk memastikan kembali jam pemberangkatan yang sebenarnya, dan alhasil nanti habis ashar tante dan rombongan akan bertolak dari Makassar menuju Pangkep untuk menjemput kami, kuperdengarkan melalui speaker handphone kepada emakku dan ku cc-kan ke tettaku bahwa emak ini terlalu semangat, sampai harus membangunkanku sepagi ini hanya untuk bersiap-siap padahal rombongan masih lama, duh.
***
Akhirnya
setelah sholat Ashar, tepatnya jelang Magrib rombongan tante tiba di rumah,
setelah menyajikan menu lebaran yang masih ada, habis isya jadinya baru
berangkat menempuh kurang lebih sekitar 6-7 jam perjalanan. Kami hanya sempat
singgah di salah satu swalayan mini untuk membeli makanan dan minuman saat tiba
di Pare-Pare, selebihnya kami tiba di kediaman kakakku di Kampung Tosewo hampir
pukul 02:00 dini hari. Tidak berbincang lama dengan kakakku dan kakak ipar,
semuanya tepar karena mengantuk.
![]() |
Saat Mampir ke Swalayan Mini untuk Beli Kopi bersama rombongan di Pare-Pare |
Silaturohim Kerumah Kerabat Emak
Suasana
Kampung Tosewo seperti perkampungan pada umumnya, sedikit modern sih untuk
disebut perkampungan, terakhir saya kesini saat duduk di bangku SMA kelas 2
bersama ponakanku Aswan yang waktu itu masih sangat kecil dan lagi demeng yang
namanya Meteor Garden drama Taiwan yang fenomenal kala itu dan kakakku belum
memiliki rumah seperti sekarang ini.
Transformasinya cukup baiklah untuk
usahanya sebagai jasa pengangkutan dan pemasaran ikan bolu, mengingat mayoritas
warga di Tosewo ini memiliki pekerjaan sebagai petani tambak seperti saudara emak
yang cukup terkenallah di Kampung Tosewo ini. Rumah yang berjejer dan
lingkungannya cukup bersih, membuat pagi di tempat ini sangat nyaman dengan
hidangan ikan bakar bolu, loppa sebutan udang oleh warga disini serta aneka
hidangan lainnya yang sungguh mengenyangkan.
![]() |
Sarapan di Kediaman Kakak |
Usai
menikmati sarapan pagi yang super special, akhirnya rombongan berkeliling ke
kerumah kerabat yang tak lain saudara emak ini bernama H. Hemma, setelah
bersalaman saya ngacir ke bawah dan mencoba mencari spot khusus untuk berfoto
ria bersama ponakan. Yup, cuman bisa ke belakang rumah saudara H. Hemma, kami
menemukan jembatan yang bisalah jadi tempat mengepresikan diri, sambil memotret
berbagai sudut perkampungan Tosewo ini.
![]() | |
Jembatan Belakang rumah bersama keponakan Irgi Fahrezi |
Yang
manarik lagi dari kampung ini, sejumlah rumah terlihat aneh dengan atap yang
begitu tinggi, plus bocoran khusus pada dindingnya. Saya pun bertanya pada
kerabat saudaranya saudara emak yang kebetulan duduk-duduk di balai-balai
kolong rumah tersebut, saya menanyakan sejumlah rumah yang memiliki atap khusus
ini hingga darinya saya mengetahui bahwa rumah tersebut termasuk depan rumah
saudara emak saya ini yang dengan cat kuning dan cukup mewah untuk ukuran
seperti saya ini jika mereka ternyata memelihara atau tepatnya berbisnis sarang
burung walet yang harganya sangat fantastis.
![]() |
Rumah ini akan dihibahkan untuk Burung Sarang Walet oleh pemiliknya |
Yah,
sarang burung walet, rumah yang memiliki atap khusus dengan bocoran di sekitar
dinding ini menjadi sarang bagi burung walet untuk membuat sarang, sarangnya
inilah yang kemudian manjadi peluang bisnis sejumlah warga di kampung ini dan
ternyata bukan hanya di kampung ini yang melakukan bisnis ini, melainkan juga
hampir seputara Kabupaten Wajo sepanjang jalan yang kami lewati saat akan
berpindah ke kampung berikutnya bahkan pemilik ruko pun yang berprofesi sebagai
pedagang ini rela menjadikan rumah lantai atas bahkan sengaja membuat tingkatan
ketiga khusus untuk bisnis sarang burung walet ini.
Bahkan kabar yang saya
dengar dari emak saudaranya pun H. Hemma sudah menyiapkan ratusan juta juga
untuk mulai melakukan bisnis serupa dengan membangun bangunan khusus untuk
sarang burung walet ini.
Mitos
lain soal bisnis sarang burung walet ini adalah pemilik rumah depan yang saya
katakan cukup mewah ini sudah akan meninggalkan rumah mewahnya untuk mencari
rumah baru agar tidak seatap lagi dengan burung walet ini.
Wow, rumah mewahnya
hanya untuk bisnis sarang burung walet, bo. Konon katanya menurut informasi,
pemiliknya sudah mulai sakit-sakitan karena seatap dengan burung walet, karena
telah berhasil dan sukses pihak pemilik rumah akan segera pindah bahkan sudah
mencari lokasi khusus sambil berobat, nah loh.
Kampung Pa’polo
Usai
bersilaturohim dengan kerabat Emak yang tak lain saudaranya, kami akhirnya
bertolak ke Kampung Pa’polo untuk menemui kerabat emak lainnya, sepupunya
entahlah saya gak hafal silsilah mereka pokoknya keluarga.
Sekitar
tiga puluh menit dari Tosewo melewati kecamatan Peneki kami tiba di Kampung Pa’polo
yang super adem, sekalian nantinya kami akan berziarah kubur ke makam ayah
emak.
Pertama
kami mengunjungi Keluarga Tali’, kerabat emak yang tepat di depan rumahnya,
hamparan sawah yang hijau, angin yang sepoi-sepoi membuat kami betah dan nyaman
begitu tiba di rumah ini.
Kami disajikan menu lebaran oleh keluarga ini,
terlihat dua anaknya serta menantunya turut membantu Ibu Tali’ ini menyiapkan
menu lebaran kemarin dan kami semua menikmatinya. Setelah kenyang dan emak juga
tanteku bercerita panjang lebar dengan keluarga ini, saya dan rombongan mobil
tanteku akhirnya menuju ke lokasi pekuburan yang harus melewati pematang sawah
yang lumayan jauh.
Jalanan
becek jadi pemandangan yang tak dapat dihindarkan, alhasil insiden emak dan
tante yang terperosok jatuh tak terelakkan, bukannya saya, ponakan dan sepupu
segera menolong kami menyaksikan pemandangan itu sebagai pertunjukan yang
sangat menyenangkan sambil menertawai emak dan tanteku yang harus
terkencing-kencing juga menahan tawa. Sendal jepit yang saya gunakan pun harus
dilepas agar tidak jatuh pada lubangan lumpur seperti emak dan tanteku.
Tiba
di pekuburan ini untuk pertama kalinya bagiku, pikiranku tante dan emakku sudah
tahu posisi kuburan yang akan di siram ternyata mereka hanya mengandalkan
ingatan lama mereka juga meminta keponakanku Wilda yang bau kencur ini untuk
mencari posisi kuburan ayah dua srikandi ini, hahaha. Setelah melalui ingatan
panjang, akhirnya ketemulah kuburan yang dimaksud.
Setelah semua ritual yang
panjang ini, kami lalu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah ibu Tali’
dimana rombongan lainnya masih menunggu, namun kerabat emak lainnya dimana kami
harus melewati rumahnya memaksa kami untuk singgah sekalian membersihkan badan
emak dan tante.
Di
Kampung Pa’polo ini sekitar lima rumah kerabat emak dikunjungin, sejumlah
kerabat juga mencoba mengenaliku dan akhirnya speechles mengetahui jika saya adalah anak bungsu emak yang puluhan
tahun lalu sangat kurus, ceking dan tidak ada bentuk itu berubah drastis
seperti Denada atau Kajol, accieee hahahaa.
Saya hanya senyam-senyum
mendapatkan respon bahwa sekarang sudah gemukan, mungkin lebih tepatnya sangat
gemuk dibanding sebelumnya, hahaha. Mereka menanyakan banyak hal khususnya
pertanyaan tentang pekerjaanku, syukur mereka gak nanya tentang suamiku dimana?
Hahaha.
Setelah
ngobrol panjang, bersalaman akhirnya kami berpamitan untuk bergegas menuju
Kampung Soro melanjutkan agenda selanjutnya. Yup kami akan berziarah kubur ke
makam nenek saya yang tak lain emaknya emakku, sebelum magrib datang dan kami harus
menempuh jarak sekitar tiga puluh menit juga untuk tiba di Kampung Soro ini.
Kampung Soro
Sekitar
setengah lima sore, akhirnya kami tiba di Kampung kelahiran emak ini, seperti
saya ceritakan diawal di kampung inilah saya memiliki ingatan atau kenangan
panjang tentang masa kecilku. Disini, dirumah nenek emak Nenek Wale berada,
sepupu emak Pakkulang juga berada tempat dimana saya sering di titipkan untuk
bermain bersama anaknya sambil menunggu emak membeli sejumlah dagangannya di
Kota Sengkang yang akan di jual di Kampung Labakkang.
Pertama
kali kami tiba di kampung ini, kami ke rumah kerabat emak bernama Parangrani,
rumah kerabat emak yang paling ujung karena paling dekat jaraknya untuk ke
pekuburan nenek untuk berziarah kubur.
Tiba
di tempat ini, hamparan rumput yang rapi layaknyaa rumput buatan seperti
alun-alun Bandung ini membuatku dan yang lainnya speechles juga, yang ada dalam pikiranku sebagai seorang yang
bekerja untuk pemberdayaan perempuan ini adalah tempat yang nyaman untuk
memberikan pelatihan dengan nuansa alam atau mengajar anak-anak diatas
rerumputan yang rapi dan bersih ini. Pokoknya keren deh.
Pemilik
rumah mempersilahkan rombongan kami masuk, namun tidak lama, karena kami harus
bergegas ke pekuburan untuk ziarah kubur sebelum adzan magrib berkumandang. Kami
akhirnya berjalan sekitar lima ratus meter oh nggak sekitar setengah kilo kali,
untuk akhirnya sampai ke lokasi ini. Syukurnya lokasinya meski jalananya juga
kurang mulus, tapi gak becek amatlah seperti saat kami ke pekuburan sebelumnya
yang harus melewati pematang sawah dan becek.
Ritual
ziarah kubur usai, kami akhirnya kembali ke rumah tadi menikmati kue lebaran
dengan segelas juice dingin. Disini, pemilik rumah juga menanyakan tentang
sosokku pada emak sampai terkaget-kaget juga saya sudah segede ini, haahahha. Maafin
yah om, baru nengok setelah puluhan tahun berlalu.
Yah,
harus saya sampaikan bahwa terakhir kali menginjakkan kaki di Kampung ini saat
masih sangat kecil, saya perhitungkan saat umur saya sekitar 4 atau 5 tahun,
nah sekarang sudah 31 tahun, hitung sendiri sudah berapa lama saya tidak
menginjakkan kaki di Kampung ini. Lamaaaaa sekali, makanya dengan alasan ini
pulalah, lebaran kali ini saya cukup bersemangat untuk mengunjungi keluarga
emak, yah keluarga saya juga tentunya.
Jika
harus menghitung sejumlah rumah kerabat yang berjejer kami kunjungi setelah
dari Kediaman Parenrengi ini, maka sampai magrib kami mengunjungi rumah Ibu
Lela, Fa’ Intan, Fa’ Madda hingga kami memutuskan menginap di rumah Pakullang
dan Hj. Hawa dan sekalian saya bertemu dengan teman sepermainan saya sejak
kecil Ani. Ani biasa, Aninya Bang Rhoma yah, hahaha. Selain Ani yang telah
memiliki sepasang anak puta-putri ini dan sedang menunggu panggilan ke
Baitullah Agustus mendatang.
![]() |
Bersama teman sepermainan Ani |
Nah khusus teman saya si Ani kami sempat ketemu
saya lupa tahun lalukah atau tahun 2015 saat ia dan keluarga singgah ke rumah
kala itu, jadi sempatlah dia melihat sosok saya yang mungkin hanya berbeda
tipis dengan sekarang dari berat badan saja hahaha.
Selain Ani, saya juga
bertemu dengan teman lainnya sejak kecil yang tentunya masih keluarga, namanya
Sukma yang tak lain ipar dari Ani ini, yup keluarga di Kampung ini, biasanya
saling menjodohkan kerabat satu sama lain, saat ini Sukma bekerja di salah satu
bank swasta di Sengkang sana dan statusnya sama dengan saya alias still singel, yeaaaah ada teman wkwkwkw.
![]() |
Bersama Sukma |
Saya tidak perlu takut dengan pertanyaan kerabat soal jodoh, yang kadang
menjadi kekhwatiran bagi sejumlah perempuan lajang yang sudah menginjakkan
kepala 3, hahahaa. Bukan apa-apa, kalau teman di sosmed nanya, biasanya saya
ceramahin balik soal jodoh, mati dan rezki khan urusan Allah, emang kita punya
hak apa mau intervensi Allah soal urusan ini. Tapi, yaelah kalau orangtua yang
nanya, kerabat yang nanya dan sudah lama tak bertemu, saya memilih
kabuuuuuurrrrr !
***
Rombongan
memutuskan menginap di rumah Pakkulang, disini kami makan malam bersama
rombongan keluarga lainnya, suasananya penuh kekerabatan banged deh. Disini
pula saya tahu saya punya om muda, aduh padahal usianya jauh lebih muda dari
saya, tapi panggilan yang cocok sesuai dengan silsilah keluarga jatuhnya om
Muda.
Yah, saudaranya Ani ini, anak bungsunnya Pakkulang dan Hj. Hawa. Saya
agak kebingungan juga memanggil nama kerabat disini, yang mana om, yang mana
harus saya panggil tante, mana sepupu, mana aduh bingung deh. Jika saya harus
memanggil adik Ani ini Om Muda, berarti Ani ini adalah tante saya, karena emak
dan Pakkulang itu juga tante posisinya adalah bersepupu, hahaha rempong yah.
Rusli
atau panggilan kerennya adalah Selli ini juga hanya mengenal emakku, dan ini
pertama kali juga ia mengenal sosokku. Padahal, anak ini kuliah di Makassar,
sekiranya sejak dulu saling mengenal, tahu kontaknya bisa sering saya ajakin
turun ke Pangkep ajakin nonkrong dan jalan-jalan ke rumah, tapi ini baru kenal
pun sekarang dia udah tahap akhir sih kuliahnya.
![]() |
Ilham, Hesty dan Irgy ponakanku |
Selain
si Selli ini saya juga mengenal ponakanku yang lain anaknya Ani si Ilham dan
Hesty yang lucu-lucu ini, ah bahagia deh ngelihat dua anak ini. Sekiranya saya
nikah diusia yang sama dengan Ani, anak gua udah segede mereka, hahahaha.
***
Keesokan
harinya, persiapan untuk ziarah kubur ke Kampung Gilirang, disini kuburan kakek
buyut kami kata emak yang akan dikunjungin.
![]() |
Nina, Sukma, dan Tante |
Alhasil,
masih sangat pagi para emak dan tante-tante sudah berjibaku dengan dapur untuk
memasak bekal, layaknya pengen piknik dimana gituh.
Kuabaikan
mereka di dapur, setelah mandi saya dan tante memutuskan mengunjungi kerabat
yang tersisa yang belum dikunjungin sebelumnya karena sudah magrib.
Saya
menghampiri rumah Nenek Wale, neneknya emak hanya tidak sempat naik rumah,
soalnya Pa’pallah suami tante Anthi juga lagi tidak di rumah, saya hanya bisa
memotret dari bawah rumah ini, rumah dimana di halaman rumahnya saya sering
bermain dengan om yang sering saya panggil Lau, pun om Lau ini sudah tidak stay
di rumah ini dan sayangnya lagi menurut Ani, Om Lau ini sempat datang kemarin
pagi, sebelum kami tiba, sekiranya saya dan rombongan tiba lebih awal kami bisa
bertemu, duh sayang sekali.
Sungguh saya sangat penasaran dengan sosok om yang
satu ini, yang menjagaku di rumah nenek Wale ini. Sekitar 3 rumah kami datangi
sebelum akhirnya tiga rombongan mobil bertolak ke Kecamatan Gilirang untuk
ziarah kubur.
Kampung Gilirang
Rasanya
hampir sejam kami menempuh perjalanan hingga tiba di rumah kerabat selanjutnya
di Kampung Gilirang. Rasa lapar tak tertahankan, apalagi para supir-supir kami,
sepupu Adi yang membawa mobil yang saya tumpangi dan si Selli yang membawa
rombongan keluarganya ini yang harus mencuri start membuka bekal ketika tiba di
rumah om, aduh lupa namanya pokokna om mantan lurah dah dan sekarang masih
aktif di salah OPD di Sengkang sana. Yang menjamu kami dengan sangat ramah.
Yang
lucu, kami bawa bekal dan menghidangkan bekal juga yah para tante-tante kami
ini, usut punya usut ternyata kondisi ini sudah di prediksi oleh rombongan
tante-tante sejak di rumah, bahwa istri om ini bukanlah kerabat yang sama
dengan kami alias orang lain dan tidak punya kebiasaan menjamu tamu yang cukup
banyak.
And then, si Om ternyata lagi
ditinggal istrinya sebelum lebaran sehingga tidak ada tante yang bisa melayani
kerabat si om yang datang dari jauh. Maka jadilah rombongan tiga mobil ini
camping di rumah om Lurah, hahaha.
Guyonan
untuk mencarikan si om Jodoh pun jadi topik khusus pertemuan kerabat disini,
sampai harus nyodorin saya dan Sukma yang masih singel wkwkwkwk, hallo...yang
benar saja tante hihihi yang ada saya mau sama anaknya saja yang brondong super
ganteng, wkwkwkwk yang kebetulan katanya kuliah di Unismuh Makassar juga, hei
dek kita satu almamater loh, sayangnya gak sempat di kepoin soalnya gak join
dengan rombongan keluarga lainnya hahahaha.
Usai
menikmati makan siang, rombongan akhirnya bertolak ke Pekuburan Gilirang yang
tidak jauh dari rumah si Om, tapi tetap masih mengendarai mobil. Tiba di
lokasi, sejumlah pengunjung lainnya sudah terlihat meramaikan pekuburan ini
untuk tujuan yang sama, ziarah kubur.
Ritual
pun dilakukan secara bergantian, yah sekedar siram doang. Nah karena si emak
agak lebay banged, pun semua yang dimintanya saya mesti turutin sambil
ngangguk-ngangguk doang. Saya lebih fokus motoin anggota keluarga lainnya untuk
diabadikan.
Kuburan
ini cukup unik sih, ada sejarahnya. Kata emak, batu nisan ini awalnya kecil,
seiring berjalannya waktu semakin membesar seperti sekarang. Almarhum Petta
Cambang ini juga punya sejumlah istri dan silsilahnya sudah tersebar
dimana-mana, pokoknya panjang.
Sehingga saya bilang ke emak, bahwa pengunjung
lainnya yang juga menziarahi Petta Cambang ini berarti masih kerabat dong. Yang
dijawab emak sama tante, kemungkinan besar iyah, tapi khan kita sudah tidah tahu
di keturunan yang mana, duh. Yah semua anak adam adalah keluarga mak, hahaha.
Setelah
selesai, kami akhirnya kembali ke rumah Om Lurah dan mengunjungi dua rumah
kerabat lainnya dan rombongan kami akhirnya memutuskan untuk berpamitan
dan kembali ke Pangkep dan Makassar. Kembali ke rutinitas biasanya, jika saya
masih menunggu hari Senin untuk kembali berjibaku dengan pekerjaan, lain halnya
Nina istrinya sepupuku Adhi Ceking yang turut dalam rombongan juga kembali ke
pekerjaanya. Kembali kejar setoran, setelah menghabiskan THR dan gaji wkwkwkwk.
Kesimpulan Hasil Pulang Kampung Emak
Selama
dua hari mengunjungi kerabat, hanya satu kesimpulan yang bisa saya tarik yakni
sebelum memutuskan untuk menikah harus dipertimbangkan lagi, tanya kenapa ?
rumah saya gak muat menampung kerabat emak dari kampungnya yang super duper
buanyaaaaak itu plus keluarganya ettaku, duh hahaha. Tapi setidaknya saya tahu sekarang begitu banyak kerabat emak yang kelak datang dan mendoakan, itu kalau saya memutuskan untuk nikah nantinya, hahaha!
Belum ada Komentar untuk "Begini Rasanya Pulang Ke Kampung Emak "
Posting Komentar