Potret Kemiskinan Perempuan Labakkang bernama Sania
Senin, Mei 02, 2016
Tambah Komentar
Kemiskinan selalu
jadi masalah sosial yang tak kunjung terselesaikan termasuk di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan meski berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah
ditawarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi “penyakit Sosial” ini telah
dilakukan sebut saja bantuan beras miskin (raskin), BLT, PKH dan terakhir KIS
untuk mensuport masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis sebagai bagian
dari integrasi Jamkesmas sebelumnya, namun toh dalam implementasinya masih
menimbulkan pro dan kontra hingga saat ini mengingat banyaknya masyarakat yang
mengklaim dirinya miskin namun tidak mendapatkan KIS tersebut. Di sisi lain
product kemiskinan ini selalu menjadi incaran bagi orang-orang yang
sesungguhnya tidak miskin mendadak ingin miskin dan sungguh kenyataan itu yang bikin
miris.
Kabupaten Pangkep dengan jumlah
penduduk sekitar 305.737 (BPS, 2010) yang tersebar di 13 Kecamatan dengan 4
kecamatan diantaranya meupakan wilayah kepulauan dan selalu menjadi indikator
penyebab Pangkep di klaim terbelakang dan tertinggal karena wilayah geografis
yang berbeda dengan Kabupaten lainnya di Sulsel tidak bisa di sejajarkan dengan
daerah lainnya yang tidak memiliki ratusan pulau-pulau yang membutuhkan
penanganan khusus.
Kemiskinan selalu
identik dengan ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya salah satunya adalah ketidakmampuan menikmati pangannya,
makanan 4 sehat 5 sempurna sebagai menu lengkap yang seharusnya di komsumsi
oleh keluarga untuk memenuhi gizi demi kestabilan kesehatan agar tidak mudah
sakit. Namun, bagaimana bisa mereka yang miskin memikirkan gizi makanan
hariannya jika pendapatan harian mereka tak sanggup untuk menyokongnya.
Salah satu dampak dari potret
kemiskinan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah Ibu Sania (60) yang
sekitar seminggu yang lalu mungkin tak pernah membayangkan jika suaminya Ambo
Tang (66) harus jatuh sakit dan harus dipikul untuk segera mendapatkan pengobatan
melalui unit layanan kesehatan terdekat Puskesmas Pundata Baji Kecamatan
Labakkang hingga harus di rujuk ke RSUD Pangkep.
(Foto by Fita seorang facebooker yang mengabarkan keberadaan Ibu Sania di RSUD Pangkep)
Sehari-hari bekerja sebagai “Pa’bibi
Bukkang” di kampungnya dengan penghasilan 50 ribu/minggu adalah salah
satu usahanya untuk menghidupi keluarga kecilnya agar dapurnya tetap bisa mengepul,
agar suami yang dicintainya tetap bisa menikmati makanan ala kadarnya setelah
tidak lagi bekerja, agar mereka tetap bisa bertahan hidup dengan luka terdalam setiap
malamnya mengenang kepergian anaknya yang masih begitu muda namun telah lebih
dahulu mendahuluinya setahun yang lalu akibat tersetrum listrik di rumah
kerabatnya.
(Foto By NN : Gambar Ibu Sania saat bercerita tentang keadaan
suaminya Ambo Tang di RSUD Pangkep, 2 Mei 2016)
Dan kini hampir seminggu pula Ibu Sania
ini berada di bangsa RSUD Pangkep di kamar Ashoka No.5 berbaur dengan pasien
lainnya, ia begitu dengan setia menemani suami tercintanya yang tak berdaya.
Mungkin yang patut disyukuri bahwa ia masih memiliki seorang anak lelaki lagi
yang bernama Sangkala yang tinggal di
Makassar dan turun mendampingi ibunya merawat ayah tercintanya, ah sebagai
penulis saya tidak bisa membayangkan jika Ibu Sania ini sudah tak memiliki anak
lagi, bagaimana ia dan suami masih bisa tetap survive melanjutkan hidupnya.
Ibu Sania hanyalah satu dari begitu
banyaknya perempuan miskin di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang
sesungguhnya diperhadapkan pada ketidakberdayaan untuk menuntut hak-haknya
sebagai warga miskin. Saat penulis bertanya tentang product kemiskinan yang ia
dapatkan dari pemerintah ia bercerita dengan lirih bahwa ia tak mendapatkan
bantuan apapun hingga pada akhirnya saya menyebut raskin dan ia akhirnya
mengangguk bahwa ia mendapatkannya. Saat disinggung dengan bantuan lainnya seperti PKH atau KIS yang begitu penting
untuknya saat ini agar bisa digunakan berobat gratis di RSUD Pangkep maka
jawabannya hanya menggelengkan kepala. Kupinjam KIS pasien yang kebetulan
sekamar dengannya dan menunjukkan kepada Ibu Sania dan anaknya dan menyampaikan
bahwa seperti inilah KIS yang semestinya ibu miliki namun hanya dijawab bahwa
ia tidak tau seperti apa dan bagaimana mengurusnya.
“Tena
kugappa nakke nak, tena tong kuissengi antekamma ngurusuki” Tutur Ibu Sania
lirih menunjukkan ketidakberdayaannya.
Kuperiksa kantong plastik yang ada di
sampingnya yang menurut anaknya Sangkala berisi surat-surat penting seperti
fotocopy KTP, KK dan surat keterangan tidak mampu baik dari lurah maupun dinas
sosial untuk digunakan berobat karena harus melalui jalur umum.
(Ini adalah Surat Keterangan Tidak MAMPU yang dimiliki
oleh Ibu Sania)
(Ini adalah Kartu Keluarga yang ditunjukkan oleh Ibu Sania)
(Ini adalah Surat Keterangan Tidak MAMPU untuk Keluarga Ibu Sania dari Disnaker)
Setelah memperhatikan secara seksama
tumpukan kertas di dalam kantong plastik tersebut dan ketidakberdayaan Ibu
Sania dan keluarga penulis berkesimpulan bahwa masih ada kemungkinan Ibu ini
sesungguhnya terdaftar KIS hanya kurangnya informasi dan ketidakmampuannya
untuk mengurus berbagai tetekbengek persyaratan untuk mendapatkan KIS sehingga
haknya hilang. Mengapa penulis berpendapat demikian, karna semua syarat untuk
mendapatkan product kemiskinan seperti KIS dan PKH itu ada pada dirinya, jika
pemerintah setempat di kampungnya tepatnya di Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang gak memfasilitasinya tentu yang harus
disalahkan adalah pemerintahnya, mengapa Ibu ini sama sekali tidak mendapatkan
haknya. Kenapa coba ? (ah..... saya jadi
geram nih kalau udah kayak begini gaes)
(Begini usaha penulis mencoba mencari kartu sakti seperti Jamkesmas atau KIS yang mungkin saja dimiliki ibu ini tapi ternyata memang TIDAK ADA)
Di sisi lain kepekaan masyarakat di
sekitar dengan kondisi ibu ini seharusnya bisa memfasilitasinya, ya bok
setidaknya di sampaikanlah ke aparat lurah atau pihak lainnya yang
berkepentingan. Pertanyaannya mengapa itu tidak terjadi yah ? apakah sedemikian
sibuknya orang-orang disekitarnya ataupun kerabatnya hingga informasi
kemiskinan beliau ini tak sampai ke telinga para pemangku kepentingan. Apakah
nanti setelah berada kondisi seperti ini, barulah orang-orang sekitar tergerak,
pun sekarang posisi penulis yang menulis kisah beliau ini sesungguhnya
terlampau sibuk hingga informasi keberadaan Ibu miskin ini hanya terpantau
melalui status facebook di Media
Sosial untuk selanjutnya difasilitasi mendapatkan haknya.
Terakhir sebelum meninggalkan ruang
Asoka ini, penulis bertanya pada Ibu Sania, jika suaminya telah dinyatakan
sembuh dan Ibu harus membayar banyak di RSUD ini karena Ibu melalui jalur umum,
apa yang akan dilakukannya? Dan tak kusangka Ibu ini menjawab bahwa “sesungguhnya saya tidak seorang diri, ada
tuhan yang akan menolong dan ada manusia baik lainnya yang insha Allah akan
membantuku“
(OMG!
Nangis gue nih ngetiknya, ah nggak, tepatnya mata gue berkaca-kaca, edisi
menyembunyikan perasaan, hikz....hikzzz..... kalimat diatas terjemahan dari logat makassarnya, biar kita semua pada ngerti)
Ah pembaca sekalian, kemiskinan
ternyata kadang membuat seseorang tetap teguh dan percaya akan kebesaran Allah
SWT dibalik ketidakberdayaannya di mata manusia.
Ibu Sania yang meski wujudnya sebagai
perempuan miskin dan sudah sepatutnya mendapatkan hak-haknya namun terabaikan tetap
percaya pada mereka sosok-sosok manusia yang baik yang kelak akan meolongnya
dan tentunya percaya pada kebesaran Allah SWT.
Mungkin kepercayaan inilah yang membuat
beberapa orang tergerak untuk mensuportnya. Ibu Sania mungkin tidak tahu bahwa
sebelum penulis menemuinya ada sosok perempuan lainnya yang mengabarkan
keberadaannya di RSUD ini melalui sebuah status yang masih butuh verifikasi
kebenarannya, ada sosok wartawati yang membantu mengkoordinasikan keberadaannya
ke pihak RSUD ini agar diberi toleransi untuk pembayaran biaya rumah sakitnya
dan penulis yang juga bisa menshare cerita perempuan Sania ini bahwa kemiskinan
yang terabaikan haknya tak selalu menjadi ketidakberdayaan namun
ketidakberdayaan sesungguhnya ketika kepercayaan pada kebesaran Tuhan telah
habis.
Ibu Sania dan Pak Ambo Tang....yang
kuat yah, lekas sembuh dan tunjukkan pada dunia bahwa engkau tetap bisa hidup
dengan kepercayaanmu saat ini. Dan semoga para pemangku kepentingan di
kampungmu, di daerahku ini lebih care lagi pada perempuan-perempuan miskin
lainnya yang (masih) juga terabaikan hak-haknya.
Belum ada Komentar untuk "Potret Kemiskinan Perempuan Labakkang bernama Sania"
Posting Komentar