Potret Kemiskinan Perempuan Labakkang bernama Sania



Kemiskinan selalu jadi masalah sosial yang tak kunjung terselesaikan termasuk di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan meski berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah ditawarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi “penyakit Sosial” ini telah dilakukan sebut saja bantuan beras miskin (raskin), BLT, PKH dan terakhir KIS untuk mensuport masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis sebagai bagian dari integrasi Jamkesmas sebelumnya, namun toh dalam implementasinya masih menimbulkan pro dan kontra hingga saat ini mengingat banyaknya masyarakat yang mengklaim dirinya miskin namun tidak mendapatkan KIS tersebut. Di sisi lain product kemiskinan ini selalu menjadi incaran bagi orang-orang yang sesungguhnya tidak miskin mendadak ingin miskin dan sungguh kenyataan itu yang bikin miris.

Kabupaten Pangkep dengan jumlah penduduk sekitar 305.737 (BPS, 2010) yang tersebar di 13 Kecamatan dengan 4 kecamatan diantaranya meupakan wilayah kepulauan dan selalu menjadi indikator penyebab Pangkep di klaim terbelakang dan tertinggal karena wilayah geografis yang berbeda dengan Kabupaten lainnya di Sulsel tidak bisa di sejajarkan dengan daerah lainnya yang tidak memiliki ratusan pulau-pulau yang membutuhkan penanganan khusus.

Kemiskinan selalu identik dengan ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya  salah satunya adalah ketidakmampuan menikmati pangannya, makanan 4 sehat 5 sempurna sebagai menu lengkap yang seharusnya di komsumsi oleh keluarga untuk memenuhi gizi demi kestabilan kesehatan agar tidak mudah sakit. Namun, bagaimana bisa mereka yang miskin memikirkan gizi makanan hariannya jika pendapatan harian mereka tak sanggup untuk menyokongnya.
 
Salah satu dampak dari potret kemiskinan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah Ibu Sania (60) yang sekitar seminggu yang lalu mungkin tak pernah membayangkan jika suaminya Ambo Tang (66) harus jatuh sakit dan harus dipikul untuk segera mendapatkan pengobatan melalui unit layanan kesehatan terdekat Puskesmas Pundata Baji Kecamatan Labakkang hingga harus di rujuk ke RSUD Pangkep.


(Foto by Fita seorang facebooker yang mengabarkan keberadaan Ibu Sania di RSUD Pangkep)

Sehari-hari bekerja sebagai “Pa’bibi Bukkang” di kampungnya dengan penghasilan 50 ribu/minggu adalah salah satu usahanya untuk menghidupi keluarga kecilnya agar dapurnya tetap bisa mengepul, agar suami yang dicintainya tetap bisa menikmati makanan ala kadarnya setelah tidak lagi bekerja, agar mereka tetap bisa bertahan hidup dengan luka terdalam setiap malamnya mengenang kepergian anaknya yang masih begitu muda namun telah lebih dahulu mendahuluinya setahun yang lalu akibat tersetrum listrik di rumah kerabatnya. 

(Foto By NN : Gambar Ibu Sania saat bercerita tentang keadaan  
suaminya Ambo Tang di RSUD Pangkep, 2 Mei 2016)

Dan kini hampir seminggu pula Ibu Sania ini berada di bangsa RSUD Pangkep di kamar Ashoka No.5 berbaur dengan pasien lainnya, ia begitu dengan setia menemani suami tercintanya yang tak berdaya. Mungkin yang patut disyukuri bahwa ia masih memiliki seorang anak lelaki lagi yang bernama  Sangkala yang tinggal di Makassar dan turun mendampingi ibunya merawat ayah tercintanya, ah sebagai penulis saya tidak bisa membayangkan jika Ibu Sania ini sudah tak memiliki anak lagi, bagaimana ia dan suami masih bisa tetap survive melanjutkan hidupnya.


Ibu Sania hanyalah satu dari begitu banyaknya perempuan miskin di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang sesungguhnya diperhadapkan pada ketidakberdayaan untuk menuntut hak-haknya sebagai warga miskin. Saat penulis bertanya tentang product kemiskinan yang ia dapatkan dari pemerintah ia bercerita dengan lirih bahwa ia tak mendapatkan bantuan apapun hingga pada akhirnya saya menyebut raskin dan ia akhirnya mengangguk bahwa ia mendapatkannya. Saat disinggung dengan bantuan lainnya  seperti PKH atau KIS yang begitu penting untuknya saat ini agar bisa digunakan berobat gratis di RSUD Pangkep maka jawabannya hanya menggelengkan kepala. Kupinjam KIS pasien yang kebetulan sekamar dengannya dan menunjukkan kepada Ibu Sania dan anaknya dan menyampaikan bahwa seperti inilah KIS yang semestinya ibu miliki namun hanya dijawab bahwa ia tidak tau seperti apa dan bagaimana mengurusnya.

“Tena kugappa nakke nak, tena tong kuissengi antekamma ngurusuki” Tutur Ibu Sania lirih menunjukkan ketidakberdayaannya.  

Kuperiksa kantong plastik yang ada di sampingnya yang menurut anaknya Sangkala berisi surat-surat penting seperti fotocopy KTP, KK dan surat keterangan tidak mampu baik dari lurah maupun dinas sosial untuk digunakan berobat karena harus melalui jalur umum.



(Ini adalah Surat Keterangan Tidak MAMPU yang dimiliki 
oleh Ibu Sania)

 
 (Ini adalah Kartu Keluarga yang ditunjukkan oleh Ibu Sania)


(Ini adalah Surat Keterangan Tidak MAMPU untuk Keluarga Ibu Sania dari Disnaker)

Setelah memperhatikan secara seksama tumpukan kertas di dalam kantong plastik tersebut dan ketidakberdayaan Ibu Sania dan keluarga penulis berkesimpulan bahwa masih ada kemungkinan Ibu ini sesungguhnya terdaftar KIS hanya kurangnya informasi dan ketidakmampuannya untuk mengurus berbagai tetekbengek persyaratan untuk mendapatkan KIS sehingga haknya hilang. Mengapa penulis berpendapat demikian, karna semua syarat untuk mendapatkan product kemiskinan seperti KIS dan PKH itu ada pada dirinya, jika pemerintah setempat di kampungnya tepatnya di Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang gak memfasilitasinya tentu yang harus disalahkan adalah pemerintahnya, mengapa Ibu ini sama sekali tidak mendapatkan haknya. Kenapa coba ? (ah..... saya jadi geram nih kalau udah kayak begini gaes)



(Begini usaha penulis mencoba mencari kartu sakti seperti Jamkesmas atau KIS yang mungkin saja dimiliki ibu ini tapi ternyata memang TIDAK ADA)

Di sisi lain kepekaan masyarakat di sekitar dengan kondisi ibu ini seharusnya bisa memfasilitasinya, ya bok setidaknya di sampaikanlah ke aparat lurah atau pihak lainnya yang berkepentingan. Pertanyaannya mengapa itu tidak terjadi yah ? apakah sedemikian sibuknya orang-orang disekitarnya ataupun kerabatnya hingga informasi kemiskinan beliau ini tak sampai ke telinga para pemangku kepentingan. Apakah nanti setelah berada kondisi seperti ini, barulah orang-orang sekitar tergerak, pun sekarang posisi penulis yang menulis kisah beliau ini sesungguhnya terlampau sibuk hingga informasi keberadaan Ibu miskin ini hanya terpantau melalui status facebook di Media Sosial untuk selanjutnya difasilitasi mendapatkan haknya.

Terakhir sebelum meninggalkan ruang Asoka ini, penulis bertanya pada Ibu Sania, jika suaminya telah dinyatakan sembuh dan Ibu harus membayar banyak di RSUD ini karena Ibu melalui jalur umum, apa yang akan dilakukannya? Dan tak kusangka Ibu ini menjawab bahwa “sesungguhnya saya tidak seorang diri, ada tuhan yang akan menolong dan ada manusia baik lainnya yang insha Allah akan membantuku“

(OMG! Nangis gue nih ngetiknya, ah nggak, tepatnya mata gue berkaca-kaca, edisi menyembunyikan perasaan, hikz....hikzzz..... kalimat diatas terjemahan dari logat makassarnya, biar kita semua pada ngerti)

Ah pembaca sekalian, kemiskinan ternyata kadang membuat seseorang tetap teguh dan percaya akan kebesaran Allah SWT dibalik ketidakberdayaannya di mata manusia.

Ibu Sania yang meski wujudnya sebagai perempuan miskin dan sudah sepatutnya mendapatkan hak-haknya namun terabaikan tetap percaya pada mereka sosok-sosok manusia yang baik yang kelak akan meolongnya dan tentunya percaya pada kebesaran Allah SWT.

Mungkin kepercayaan inilah yang membuat beberapa orang tergerak untuk mensuportnya. Ibu Sania mungkin tidak tahu bahwa sebelum penulis menemuinya ada sosok perempuan lainnya yang mengabarkan keberadaannya di RSUD ini melalui sebuah status yang masih butuh verifikasi kebenarannya, ada sosok wartawati yang membantu mengkoordinasikan keberadaannya ke pihak RSUD ini agar diberi toleransi untuk pembayaran biaya rumah sakitnya dan penulis yang juga bisa menshare cerita perempuan Sania ini bahwa kemiskinan yang terabaikan haknya tak selalu menjadi ketidakberdayaan namun ketidakberdayaan sesungguhnya ketika kepercayaan pada kebesaran Tuhan telah habis.

Ibu Sania dan Pak Ambo Tang....yang kuat yah, lekas sembuh dan tunjukkan pada dunia bahwa engkau tetap bisa hidup dengan kepercayaanmu saat ini. Dan semoga para pemangku kepentingan di kampungmu, di daerahku ini lebih care lagi pada perempuan-perempuan miskin lainnya yang (masih) juga terabaikan hak-haknya.  

Belum ada Komentar untuk "Potret Kemiskinan Perempuan Labakkang bernama Sania"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel